Bongkar Korupsi Vaksin, 16 Tahun Tak Naik Pangkat Monday, 16 October 2017 02:17

Prof. Dr. Suprapto Ma’at, Drs., M.S.,Apt. mengawali karir dan profesi dengan penuh lika-liku. Tetapi, dia mengaku sejak mahasiswa memang sudah melakoni perjalanan hidup yang sarat perjuangan.

Saat masuk Fakultas Farmasi Unair pada 1967 dirinya nyambi kerja. sebab, orang tua Suprapto yang berasal dari Sumenep dan Bondowoso tidak memiliki cukup biaya untuk menopang kebutuhannya.

”Sambil kuliah saya nyambi kerja. Pernah jadi translater (penerjemah) Germany Development Institute,” ujar guru besar patologi klinik ini.

Suprapto juga pernah bekerja sebagai detailer obat. Itu dijalani pada 1973–1976. ”Itu saya jalani untuk menopang kebutuhan hidup sebagai mahasiswa,” ujarnya.

Berawal dari Pusat Veterinaria Farma

Saat ini Prof. Dr. Suprapto Ma’at menjalani profesi sebagai guru besar di Fakultas Kedokteran. Namun, karirnya justru tidak berawal di Unair. ”saya menjadi pegawai negeri sipil di Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) yang ditempatkan di Pusat Veterinaria Farma, Jalan A. Yani no 68-70, surabaya mulai 1976,” katanya.

Di pusat Veterinaria Farma, Suprapto diberi tugas melakukan riset pembuatan vaksin hewan. Tahun pertama, katanya, dia melakukan riset pembuatan Vaksin SE Septicaemia.

”Vaksin ini diberikan ke sapi agar tercegah dari penyakit ngorok waktu tidur,” ujarnya. Tahun kedua, dia ditugasi melakukan riset pembuatan Vaksin Antraks. Tahun ketiga, melakukan riset pembuatan Vaksin Mucella. ”Vaksin ini untuk kesehatan sapi perah,” terangnya.

Sekolah Pembuatan Vaksin Virus Mulut Kuku

Pengalaman Suprapto semakin mematangkan karirnya sebagai periset vaksin  hewan. Dengan potensi dan kapasitasnya tersebut dia disekolahkan Kementerian Pertanian ke Melbourne (Australia) dan London. Di London dia belajar di Pirbright Working Surrey England.

Menurut Suprapto, sekolah di Melbourne dan London lebih banyak bermuatan kepentingan Australia. Hampir 70 persen peternakan Australia adalah sapi. Sebagian besar hasilnya diekspor, termasuk ke Indonesia.

Karena itu, jika sapi-sapi di Indonesia bebas penyakit mulut-kuku berkat vaksin anti penyakit ini, Australia juga diuntungkan. Jika sapi Indonesia bebas penyakit penyakit mulut-kuku, sapi Australia juga akan bebas penyakit serupa. ”tidak  ada penyebaran penyakit mulut-kuku ke Australia dari Indonesia,” katanya.

Karir Pernah Mandeg

Perjalanan karir Suprapto tidak selalu lapang. Bahkan, pernah stagnan. Itu terjadi pada 1984. Saat itu operasi tertib (opstib) meminta Suprapto membongkar dugaan korupsi pembuatan vaksin. Ternyata pelaku yang diduga adalah direktur jenderal (Dirjen) Peternakan, Kementerian Pertanian (saat itu). ”Akibatnya, saya tidak naik pangkat,” tandas bapak empat anak ini.

Karena mulai stagnan di Pusat Veterinaria Farma, pada 1985 dia pindah kerja. Dia masuk ke Departemen Patologi Klinik FK Unair.

”Karena mutasi dari PNS Kementerian Pertanian ke PNS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, saya tidak naik pangkat selama 16 tahun,” tegas guru besar kelahiran Banyuwangi ini.

Setelah resmi pindah ke FK Unair, rektor saat itu, prof. Dr. Marsetio Donosepoetro minta Suprapto melanjutkan studi S-2 imunologi. Prodi itu kali pertama diselenggarakan FK Unair. ”Saya mulai kuliah 1986. Lulus 1988, ”katanya.

Tahun 1994 Suprapto melanjutkan S-3, juga di Unair. ”Saya lulus tahun 1996. Hanya dua tahun saya menyelesaikan S-3,” jelasnya. Berkat sekolah S-3 dan meraih gelar doktor itu, tak lama kemudian dia menerima jabatan guru besar patologi klinik.

Biaya Mahal Karena peralatan Impor

Sebagai guru besar patologi klinik, Suprapto tahu betul akar masalah biaya jasa klinik di Indonesia yang tergolong mahal. ”peralatan laboratorium untuk klinik masih impor,” katanya.

Terkait Unair yang berupaya masuk 500 perguruan tinggi kelas dunia, Suprapto memiliki pandangan tersendiri. Menurut dia, Unair harus bersatu untuk menelurkan hasil-hasil riset yang aplikatif. ”Unair juga harus menjadi perguruan tinggi prestisius. Antara lain melalui branding di media cetak, televisi, dan media sosial,” katanya.

Sumber : Buku Jejak Langkah Ksatria Airlangga

Tags :