Era MK, Hukum Harus jadi Panglima Friday, 14 February 2020 05:38

Pekerja keras dan ulet. Itulah sedikit gambaran tentang sosok Harjono. Keterbatasan fasilitas serta sarana dan prasarana selama menempuh pendidikan tidak membuatnya patah arang. Hasilnya, kini dia menjabat sebagai Kepala Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Harjono lahir di Nganjuk pada 31 Maret 1948. Setelah lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Jurusan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) pada 1969. Dia termasuk mahasiswa yang lama dalam menyelesaikan studi. Selain karena masih menggunakan sistem tahunan, dia juga bekerja sambilan untuk biaya kuliah. Saat tingkat terakhir, dia diangkat sebagai pegawai negeri II/b dan menjadi asisten dosen meskipun belum lulus.

Pada 1977, dia akhirnya berhasil menyandang gelar sarjana hukum dari Unair. Harjono lalu memperoleh beasiswa S-2 di Southern Methodist University, Dallas, Texas, Amerika Serikat (1981). Dia menempuh program Master of Comparative Law (MCL) bersama roommate-nya, Bagir Manan. Harjono kemudian menempuh studi S-3 di almamaternya, Unair (1994). Dia menulis disertasi tentang perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945.

Mengenai pengalaman belajar selama menempuh pendidikan di Unair, Harjono memiliki cerita tersendiri yang masih sangat membekas di benaknya. Dia berhasil mendapatkan nilai terbaik dari beberapa dosen yang dikenal sangat killer. Mereka adalah Prof. J.E. Sahetapy, Prof. Abdul Gani, dan Prof. Budi Susetyo. Bahkan, Harjono ditetapkan sebagai mahasiswa teladan karena berhasil meraih nilai bagus.

Bagi dia, kuliah adalah belajar caranya orang belajar.Tidak hanya mempelajari dan menghafalkan materi, mahasiswa juga harus tahu proses dan caranya. Intelektualitas Harjono terus terasah seiring proses belajar yang dijalaninya selama kuliah. Di antaranya, karena saat itu perpustakaan dan sumber materi berupa buku sangat terbatas, dia pun memanfaatkan diktat stensilan perkuliahan. Dia juga rutin mengikuti belajar kelompok bersama teman-temannya. Mereka saling berbagi catatan dan materi yang diperoleh di kelas.

Selama menjadi mahasiswa di Unair, Harjono juga aktif dalam kegiatan kampus maupun antarkampus. Untuk tingkat universitas, dia pernah menjabat sebagai sekretaris umum dewan mahasiswa. Bahkan, dia rela menggunakan uang hasil kerjanya sebagai asisten dosen untuk kegiatan aktivis dewan mahasiswa. Dia merupakan dewan mahasiswa terakhir Unair. Sebab, setelah itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu) Dr. Daoed Joesoef melakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Di tingkat fakultas, dia juga aktif sebagai ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) atau badan legislatif. untuk kegiatan antarkampus, dia aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sebagai tentor.

Karena kemampuan intelektualnya, Harjono semakin dikenal luas di kelompok-kelompok belajar dan organisasi mahasiswa. Dia sering terlibat dalam berbagai diskusi dan kegiatan belajar. Hal tersebut mengharuskannya berkeliling Surabaya dengan bermodal sepeda onthel. Bagi dia, kegiatan itu merupakan suatu kenikmatan tersendiri.

Sebagai orang yang sangat senang berbagi ilmu, Harjono memperdalam karirnya sebagai dosen di Unair setelah lulus S-1. Lalu, saat itu, ada penawaran penelitian ilmu sosial yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Ilmu Sosial (LPIS) di Jakarta. Dia pun mencoba melamar dan diterima untuk melakukan penelitian selama setahun di Aceh. Hasil penelitiannya tersebut masuk tiga besar. Dia juga berhasil mendapatkan beasiswa S-2 di Southern Methodist University.Setelah meraihgelar MCL, Harjono kembali mengajar di Program Pascasarjana Unair dan beberapa perguruan tinggi lain.

Pada Pemilu 1999, dia dipinang Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Provinsi Jawa Timur melalui ketuanya saat itu, Soetjipto. Namun, dia menolak karena merasa lebih sreg sebagai pengajar. Dia kemudian menerima tawaran untuk menjadi anggota MPR karena tidak harus meninggalkan profesinya sebagai dosen.

Pada 2003–2008, Harjono dipercaya oleh presiden untuk menjadi hakim konstitusi. Dia kembali terpilih sebagai hakim konstitusi untuk periode 2008–2013, menggantikan Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. yang mengundurkan diri. Setelah pensiun, dia pun diminta oleh presiden untuk menempati posisi ketua DKPP hingga saat ini.

 

Perbaikan Pendidikan di Fakultas Hukum

Harapan idealnya untuk Indonesia yang akan datang adalah perbaikan pendidikan fakultas hukum. Pada masa pemerintahan Bung Karno, politik menjadi bidang yang paling maju. Sementara itu, pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, ekonomi berkembang sangat pesat. Namun, pada akhirnya, pembangunan ekonomi terjungkal-jungkal karena krisis moneter.

Setelah reformasi, masa politik dan ekonomi sebagai panglima negara berakhir. Hukum pun tampil menggantikan kedua bidang tersebut sebagai panglima bangsa dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Menurut Harjono, orang-orang yang concern di bidang hukum harus siap menjadi panutan dalam sebuah negara dengan dasar konstitusi. Oleh karena itu, bagi Harjono, perbaikan pendidikan hukum di tingkat fakultas sangat dibutuhkan.

 

Profil Singkat

Nama                            :   Dr. Harjono, S.H., M.C.L.

Tempat, Tanggal Lahir :   Nganjuk, 31 Maret 1948

 

Pendidikan:

  • Sekolah Rakyat (Nganjuk)
  • SMP (Nganjuk)
  • SMA (Nganjuk, lalu pindah ke Surabaya)
  • S-1 (Unair) Lulus tahun 1977
  • S-2 (Southern Methodist University) Lulus tahun 1981
  • S-3 (Unair) Lulus tahun 1994

 

Karier:

  • Dosen di Unair dan beberapa perguruan tinggi lain
  • Peneliti LPIS
  • Tim Ahli Redaksi Umum Harian Surabaya Post (1991—1993)
  • Tim Ahli Departemen Kehakiman dalam Penyusunan RUU Kewarganegaraan
  • Tim Ahli Perancang Peraturan Daerah Kota Surabaya
  • Anggota MPR RI unsur utusan daerah dari ProvinsiJawaTimur (1999—2003)
  • Hakim Konstitusi RI (2003—2008)
  • Hakim Konstitusi RI (2009—2014)
  • Kepala DKPP (2017—sekarang)
Tags :