Bermula dari Teater dan Kecintaan Terhadap Tradisi Lisan, hingga Lahirkan dua Karya Wayang Wednesday, 03 August 2022 01:59

Balok Safarudin atau yang lebih dikenal dengan panggilan Balok, merupakan salah satu putra terbaik jebolan Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Lelaki kelahiran Malang, 10 Mei 1974 itu semasa kuliah merupakan sosok yang kritis dan aktif dalam kegiatan teater dan perlombaan.

Dihubungi melalui pe san singkat WhatsApp, Balok bercerita bahwa ketika mengenyam perkuliahan dirinya sempat mengikuti beberapa lomba tingkat nasional. Meskipun tidak keluar sebagai jawara, dan hanya memperoleh Juara Harapan, dia mengaku tetap senang atas pencapaiannya tersebut.

“Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, sudah semestinya saya menekuni bidang ini dengan penghayatan. Sastra tidak melulu berkutat pada tulisan atau puisi dan drama, melainkan berpengaruh pada reinterpretasi budaya suatu masyarakat,” jelas Balok.

Kebudayaan, bagi Balok merupakan suatu mahakarya agung yang harus tetap dijaga kelestariannya. Hal ini bukan tidak lain sebagai wujud melindungi dan menahan laju pergeseran pemahaman di masyarakat, demi menjaga nilai-nilai luhur yang akurat.

Selain itu, keragaman sastra dan budaya yang dimiliki Indonesia bukanlah hal yang mudah untuk tetap dijaga. Maka dari itu, Balok juga kerap mengajak berbagai pihak untuk mau sadar dan merawat esensi kebudayaan sebagai wujud mahakarya itu.

Menekuni Budaya Pewayangan

Bermula dari keterlibatannya dalam kelompok teater Gapus di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Balok pun juga mampu menjadi seorang Dalang. Menurut pengakuannya, dia menekuni profesi sebagai Dalang karena memiliki latar belakang seni pertunjukan selama di teater.

Hingga saat ini, diketahui dia telah berhasil menyuguhkan dua karya Wayang sebagai wujud kecintaannya terhadap budaya. Mahakarya pertama dia beri nama ‘Wayang Besut Kalimasada’ dan kedua bernama ‘Wayang Bojima’.

“Menjadi dalang itu berat sekali syaratnya, saya sebagai dalang karena tuntutan pertunjukan. Karena saya ndalang itu berlatar belakang teater, dari teater inilah saya mengasah ilmu teater dan ilmu pertunjukan,” tandasnya.

Wayang Bojima, sambung Balok, sengaja dihadirkan karena tuntutan kreativitas. Hal tersebut karena cerita Panji saat ini hampir mengalami kepunahan. Terlebih wayang topeng Malangan sudah jarang tampil di publik, karena sepi peminat.

Oleh karena itulah, Balok menciptakan wayang Bojima (Boneka Panji Malangan. Red) untuk memasyarakatkan kembali cerita Panji. Serta meramaikan seni pertunjukan yang berdasar pada cerita Panji.

Mengabdi sebagai Peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur

Selepas mengangkat toga dan menggenggam gelar sarjana dari Fakultas Sastra UNAIR, Balok memberangkatkan nahkoda kariernya sebagai Guru di SMA YPPI Dharmahusada, Surabaya dan juga Multi Media Pelayanan Publik. Hingga pada akhirnya kapalnya berlabuh di Balai Bahasa dan menempatkannya sebagai peneliti.

“Saat ini saya sebagai peneliti pada bidang perlindungan sastra. Tugas utama saya yakni memetakan, mengkonservasi, dan merevitalisasi sastra lisan, serta sastra tulis atau pernaskahan di wilayah kebudayaan Jawa Timur,” ceritanya. 

Bagi Balok, menekuni bidang tradisi lisan membuatnya merasa nyaman, terlebih dalam tradisi lisan sangat banyak hal menarik. “Kita dapat mengetahui budaya suatu masyarakat jika dilihat dari sastra lisannya atau tradisi lisannya.

Perkembangan dan hasil karya tradisi lisan di suatu daerah didominasi oleh kultur, adat, maupun pola masyarakat tersebut,” Terlebih, ketika di lapangan, seorang peneliti tradisi lisan dapat bertemu dengan banyak orang dan budaya yang unik.

Hal itu secara tidak langsung akan menggugah gairah untuk terus mencari, meneliti, dan menemukan jawabannya, dan itulah yang menjadi salah satu motivasi alami.

Saat ini, menurut Balok kondisi Bahasa dan budaya di Jawa Timur masih terbilang lestari, karena banyak kalangan masyarakat yang sudah sadar dan menjaga. Selain itu, dengan kesadaran tersebut, Balok berharap bahwa masyarakat akan secara konsisten mewariskan kebudayaan leluhur  pada generasi penerus, dengan tetap menjaga esensi dan akurasinya.

Sumber : Jejak Langkah Ksatria Airlangga Edisi V

Tags :