Tim Pengmas UNAIR bersama peternak penerima bantuan, Siti Asiyah (ke-5 dari kanan) dan Moh Soleh (paling kiri), di shelter bantuan UNAIR di Cangkringan, Sleman, DIY. (Foto: Bambang Bes)
UNAIR NEWS – Keberlanjutan (sustainbility) pengabdian masyarakat sivitas Universitas Airlangga untuk masyarakat korban erupsi Gunung Merapi, yang dilakukan sejak tahun 2011 di Dusun Tanjung, Kelurahan Wukirsari, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, DIY, berhasil menumbuhkan sumber ekonomi baru masyarakat dan obyek pembelajaran di dunia pendidikan.
Demikian pengakuan Siti Asiyah (50), perempuan satu-satunya di Dusun Tanjung yang pasca-erupsi 2011 itu memberanikan diri menerima bantuan kandang (shelter) dan bimbingan ternak sapi perah yang ditawarkan sivitas UNAIR, yaitu LPPM UNAIR bersama IKA-UNAIR.
Hal itu diterangkan ketika menerima Tim Pengmas UNAIR yang melakukan kunjungan “tahunan” setiap menjelang Dies Natalis UNAIR di obyek pengmas di Cangkringan. Selain disini juga meninjau Ponpes Al-Qodir. Tim Pengmas ini dipimpin Dr. Ir. Sri Hidanah, MS., Sekretaris Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Masyarakat (LP4M) UNAIR, diikuti Prof. Dr. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si (mantan Ketua LPPM, kini Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan UNAIR), Prof. Romziah Sidik, drh., Ph.D (mantan Dekan FKH/perintis pengmas Yogya), Drs. Ec. Mashariono, MBA (IKA-UA/perintis), Dra. Widarmami (IKA-UA), Drh. Trilas Sardjito, MS (dosen FKH/pakar ternak domba) dan staf LP4M.
Sikap menolak bantuan warga dusun itu bisa dimaklumi, sebab disana belum pernah ada warga beternak sapi perah, alasannya lebih ribet/sulit. Tetapi lima tahun kemudian, saat ini, belasan warga Dusun Tanjung, mengikuti jejak Siti Asiyah, menjadi produsen susu sapi. Otomatis juga menjadi anggota Koperasi Sarana Makmur yang menampung susu sapi hasil ternaknya.
Dari sisi pendidikan, sukses bangunan sumber ekonomi baru bagi warga dengan ternak sapi perah sebagai budaya baru ini, menjadi obyek penelitian dan pendidikan klinik (Co-Ass) bagi mahasiswa. Disebutkan Siti misalnya mahasiswa FKH UGM, termasuk dua kali mahasiswa asal Malaysia (beda orang) yang melakukan Co-Ass. Mahasiswa UGM yang lain meneliti air kencing dan kotoran sapi untuk pupuk cair organik. Kemudian mahasiswa Universitas Islam Indonesia, KKN mahasiswa Universitas Sanata Darma, dan PKL mahasiswa Kebidanan Jakarta yang meneliti kolostrom susu sapi sebagai bahan perawatan kecantikan.
”Ada lagi mahasiswa Sospol UGM untuk karya ilmiah tentang ternak sapi perah dan lingkungan, malah kami juga disyuting video, diminta bergerak,” tambah Siti Asiyah. Termasuk disini tempat terbentuknya Posyanduwan (Pos Pelayanan Terpadu Hewan) yang melakukan pertemuan tiap empat bulan diikuti para peternak sapi perah disana.
Dikisahkan Siti, seminggu sebelum shelter diresmikan (2011), dua ekor sapi jenis FH (Friesian Holstein) dari UNAIR datang. Sementara diurus tetangganya, Ngudiono. Tetapi setelah berhari-hari menawarkan kepada penduduk, tak satu pun mau menerima bantuan itu. akhirnya dengan agak terpaksa Siti dan adiknya, Moh Soleh, menerima bantuan itu.
“Kami sampai berpikir ’Mungkinkah ini rejeki dan petunjuk Allah yang harus kami terima?’ Jadi atas pertimbangan adik saya itu, akhirnya suatu hari menjelang Magrib kami baru berani memutuskan menerima bantuan itu,” kisah isteri Nur Rochmat ini.
Dari bermula dua ekor tadi, sekarang berkembang menjadi 14 ekor. Sekarang setiap hari, dari dua ekor sapi perah bisa setor (menjual) 15 liter susu sapi segar ke koperasi. Hasil penjualan susu sebagai biaya operasional beternak dan ekonomi keluarga. Bahkan atas pembinaan dari FKH UNAIR, penduduk sudah diajarkan pula bagaimana membuat yogurt, penganekaragaman produk susu sapi. Manfaat lain, warga dusun bebas mengambil kotoran sapi tersebut sebagai pupuk organik untuk pertaniannya. (*)