F. Aziz Manna.
UNAIR NEWS - Prestasi dalam bidang sastra di Universitas Airlangga tampaknya tak pernah surut bermunculan. Baru saja, salah satu alumnus Program Studi ilmu sejarah UNAIR menyabet penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Penyair yang dikenal dengan nama F. Aziz Manna ini lolos penjurian ajang sastra bergengsi melalui kumpulan puisinya yang bertajuk Playon.
Sebelumnya, buku tersebut memenangkan sayembara Penulisan Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur. Buku tersebut kemudian diterbitkan oleh penerbit Pagan Press secara indie. Melalui penghargaan itu, Aziz sapaan karibnya, mendaparkan reward sebesar 50 juta rupiah.
Kusala Sastra Khatulistiwa adalah ajang penghargaan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki sejak 2001. Sebelumnya, ajang tersebut bernama Khatulistiwa Literary Award yang kemudian sejak 2014 berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Nominasi penghargaan ini diambil dari karya-karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang terbit dalam rentan waktu setahun. Tahun ini, tim juri memilih karya anak bangsa yang terbit antara Juli 2015 hingga Agustus 2016.
Kepada UNAIR NEWS Aziz mengungkap, bukunya merupakan satu-satunya karya yang masuk injury time disebabkan banyaknya kandidat yang menarik diri. Buku-buku yang menarik diri dianggap sebagai karya yang tidak memiliki kebaharuan dalam dunia sastra. Melalui peluang itulah, Playon mencoba masuk membawa kebaharuan dan ciri khasnya.
Berbeda dengan nominasi lain, Playon masuk ke meja juri dengan format PDF. Hal ini disebabkan bentuk fisik Playon belum beredar luas, tidak seperti pesaing yang lain. Uniknya, dengan keterbatasan tersebut, Playon berhasil masuk sepuluh besar hingga akhirnya dipilih menjadi buku kumpulan puisi terbaik.
Setelah kemenangannya di ajang KSA ini, Aziz berharap bisa terus berkarya. Justru melalui penghargaan ini, bisa memacu dirinya untuk lebih produktif dalam menghasilkan karya dengan ciri khas dan membawa kebaharuaan di dunia sastra Indonesia.
“Saya berharap setelah ini bisa berkarya. Penyair kan, memang tugasnya berkarya, nulis puisi,” pungkas Aziz.
Pria kelahiran 8 Desember 1978 ini mengaku tidak akan bisa memenangkan penghargaan bergengsi tersebut tanpa bantuan salah satu tim juri. Yogi Ishabib, juri itu, mempertahankan Playon di sesi perdebatan sebab Playon dianggap sebagai karya yang layak untuk menang.
“Saya bersikukuh kalau Playon ini menawarkan kebaharuan sastra Indonesia. Aspek-aspek di dalamnya berbeda dengan kumpulan puisi sebelumnya. Selain itu, nama-nama nominator lainnya sudah cukup penuh dan membayangi pasar di Jakarta. Sehingga saat Playon masuk, ada kebaharuan melalui pemanfaatan ruang yang belum pernah ada. Dari lima juri ini memberikan skor tiga banding dua untuk puisi,” kata Yogi pada reporter UNAIR NEWS.
Sebelumnya, karya-karya Aziz telah malang melintang mewarnai jagad sastra Indonesia. Beberapa karya antologi puisi bersama penyair lain berjudul Antologi Penyair Jawa Timur “Permohonan Hijau” (2004), Antologi Penyair Tiga Wilayah Festival Mei (2005), Rumah Pasir(2008), Lelaki Tak Bernama (2008), What’s Poetry (2012), “Sirkus Sastra” Bienalle Sastra Salihara(2013), Tasbih Hijau Bumi, Tiang Tegak Toleransi (2015).
Sedangkan beberapa buku puisi tunggalnya antara lain Kumelambungkan Cintaku (2003), Izinkan Aku Menciummu (2006), Wong Kam Pung (2010), Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang (2010), Tanggulendut (2013), dan Siti Surabaya: Sebuah Puisi Epik (2014). (*)