Pulang Bawa Sapi Kurus,Usai Wisuda Digugat Ibu Thursday, 19 October 2017 08:57

Lulus kuliah membawa gelar drh, tentu mendapatkan apresiasi tersendiri bagi mayoritas petani di desa. Bayangan kerja sebagai orang kantoran dengan kehidupan mapan, bisa jadi terbawa mimpi.

Barangkali itulah yang ada di pikiran Katmilah, ibunda drh Triwijono, alumnus FKH, Unair, ketika mendengar anaknya telah diwisuda menjadi dokter hewan. Tapi, betapa kagetnya Katmilah ketika Tri pulang ke desanya, Bendosari, Sanankulon, Blitar. Dia menggiring seekor sapi kurus yang dibelinya di pelelangan dengan uang pinjaman.

Apalagi, pada hari-hari selanjutnya Tri sibuk mencari rumput untuk sapinya. Tak ubahnya anak desa yang kerjanya angon sapi (menggembala sapi). Ibunya pun “menggugat”. Sebab, Katmilah yang sudah janda, telah bersusah payah membiayai kuliah Tri agar bisa jadi “orang”. Bukan tukang ngarit rumput.

Khawatir Tri bakal frustrasi menghadapi ibunya, kakak sulungnya yang tinggal di kota (Blitar) meminta Tri untuk pindah sementara. Tri dikontrakkan rumah di kota.

Sedangkan sapinya ditinggal di desa, namun tetap dalam pengawasan ketat Triwijono. Tapi, tekadnya untuk menekuni peternakan sapi perah tak terbendung. Dia terus berusaha mewujudkan cita-citanya dengan segala cara.

Apalagi, dia punya pendukung kuat. Yaitu istrinya sendiri, drh Heni Agustiningsih, adik kelas Tri di FKH Unair. Heni mensupport obsesi Tri dengan berjualan susu murni olahan berbagai rasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia menggaji 35 orang loper susu untuk distribusi. sehari bisa menghabiskan sekitar 200 liter susu.

Sementara Tri dengan Vespa tuanya sibuk membina anggota Koperasi Unit Desa (KUD) di Mojoagung, Rejotangan, Tulungagung, dan Wonosalam. Namun, jika ada loper susu berhalangan, Tri tak sungkan turun tangan menggantikan mengantar susu ke rumah-rumah pelanggan. Sebagai dokter hewan Tri juga menerima panggilan untuk mengobati sapi sakit atau perlu inseminasi buatan.

Seiring perjalanan waktu, pada Agustus 1988, sapi kurus yang dibeli dari uang pinjaman itu pun tak lagi kurus. Bahkan, Tri dititipi kerabat dan teman-temannya beberapa sapi. Inilah rintisan budidaya sapi perah Tri.

Yang lebih menggembirakan, rintisan budidaya sapi itu mendapatkan kucuran modal dari PT Semen Gresik. Tri bekerja tak kenal lelah melakukan pembinaan pada para peternak-peternak baru, yang punya satu atau dua ekor sapi.  

Bahkan, dia tak ragu merogoh kantong sendiri untuk membelikan sapi para pemula yang hanya punya modal kemauan kuat atau bila ada sapi mati. Totalitas seperti itu membuat Tri jadi figur panutan di wilayah Nongkojajar (Pasuruan). Kini sapi kurusnya telah jadi pemasok susu berskala nasional.

Pada 1993 peternak sapi perah Bendosari dan sekitarnya mendirikan Koperasi Jaya abadi. Triwijono ditunjuk sebagai ketua didampingi saudara-saudaranya. Pendirian Jaya abadi itu dilatarbelakangi kebijakan tata niaga susu nasional di era presiden suharto.

Tata niaga itu mewajibkan para peternak membentuk koperasi dan bergabung dalam Ikatan Koperasi Susu Indonesia (IKSI). Tujuannya agar bisa memasarkan susu segar pada perusahaan-perusahaan besar.

Kehandalan Triwiyono sebagai konsultan peternakan sapi perah tak diragukan lagi. Para pengelola peternakan besar dari dalam maupun luar negeri seringkali datang ke Blitar untuk membahas berbagai masalah dengan Tri.

Pejabat dari kementerian Malaysia dan Brunei bahkan pernah mengejar Tri sampai ke Blitar untuk memintanya bergabung mengelola peternakan mereka. namun, Tri bergeming.

Tekadnya bulat, berjuang membesarkan peternakan sapi perah di negeri sendiri. Kini Koperasi Jaya abadi mendistribusikan rata-rata 100 ton liter susu segar setiap hari ke perusahaan-perusahaan susu olahan mitra mereka.

Pasokan susu itu selain dari peternakan milik Triwiyono dan saudara-saudaranya, juga dari para peternak binaan mereka. Peternak binaan itu menyetorkan susu segar ke cooling center di beberapa tempat di Jatim. Yakni, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Malang.

Tri menjalankan koperasi dengan manajemen bisnis modern untuk meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat. Selain itu, ayah tiga anak tersebut memberlakukan kebijakan edukatif. Setiap peternak binaan yang berhasil mengembang-biakkan sapi modal menjadi 10 ekor, dibebaskan dari ikatan kemitraan. Mereka didorong menjadi peternak pengusaha mandiri.

Obsesi Triwijono bergelut dengan sapi dan susu-susunya sebetulnya tak hanya dilakukan di desanya setelah lulus kuliah. Waktu kuliah pun dia sudah bergelut dengan susu sapi segar sebagai loper. Dengan sepeda dia mendistribusikan susu sapi. Berawal dari enam pelanggan berkembang jadi puluhan. Banyak suka-dukanya kuliah sambil loper susu. Sukanya, punya pengalaman marketing, sensitif terhadap lingkungan, dan mampu membaca peluang. Sedangkan dukanya, nilai akademis merosot, capai tiap hari, dan lama lulus, tujuh tahun.

Pemerintah pusat seharusnya cepat melakukan kajian-kajian ilmiah untuk mempertahankan peternakan sapi perah. Sebab, produksi susu nasional terus turun, sementara kebutuhan terus meningkat. Saat ini perbandingan susu impor dan lokal makin jauh, 80:20. 80 persen susu impor dan 20 persen susu lokal. Inilah masalah mendesak bangsa di bidang persusuan.

Sumber : Buku Jejak Langkah Ksatria Airlangga

Tags :