Saat Kuliah Dijuluki DRS (Dorong Rokok Surungan) Monday, 23 October 2017 04:49

Penampilannya sederhana. Wajahnya berseri, tutur katanya santun, dan bernuansa islami. Dialah Drs. Syamsul Ma’arif, M.Sdm, presiden komisaris sekaligus pemilik Gama Group. Perusahaan yang bergerak di bidang forwarding, ekspedisi, bongkar muat, tambang, dan masih ada lagi.

Falsafah hidup Syamsul sebenarnya sederhana. Yakni, ingin bermanfaat bagi orang lain. Dia ingin meniru Rasulullah Muhammad SAW. Tapi, agar hidupnya lebih bermanfaat, pria kelahiran Dusun Konang, Glagah, Lamongan, itu harus bekerja sangat keras. Dia harus menjadi orang kaya.

Berlatar belakang keluarga miskin, orang tuanya petani musiman, satu-satunya pria dari lima bersaudara itu sudah bekerja keras sejak di bangku SD. Dia membantu orang tuanya mencari kayu bakar, mencari air, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Menyelesaikan SD dan SMP di Glagah, anak ketiga itu melanjutkan ke SMA Mujahidin Surabaya. Tentu dia tak sekadar sekolah. Tapi, juga bekerja sebagai penjual roti. Sering dia ke sekolah membawa ’’sepeda kebo’’ yang dilengkapi boks roti di depan stang.

Ejekan teman-teman dirasakan sangat biasa bagi telinganya. Kata-kata kebomu wis mbok cancang? (kerbaumu apa sudah diikat?) dari beberapa teman sekolah, tak pernah masuk ke hatinya. Dia menilai itu tantangan. Dia tetap fokus pada tujuan.

Selepas SMA dia kuliah ke FISIP Unair Jurusan Administrasi Negara. Dia tinggalkan jualan roti dan beralih ke rokok. Syamsul membuka rombong rokok –sekaligus jadi tempat tidurnya– di Jalan Merbabu. Untuk keperluan mandi dan lain-lain dia nunut di masjid.

Dari hasil berjualan rokok itu dia setiap bulan mampu mengirim uang kepada orang tuanya di Glagah. Jika dia kuliah, rombong ditutup. Dia berjalan kaki ke Jalan Tidar, mencegat bemo yang mengantarnya ke kampus. Selama tiga setengah tahun dia tidur melungker di rombong itu sampai lulus S-1.

Karena nyambi berjualan rokok, di kampus dia dijuluki DRS oleh teman-temannya. Kepanjangan dari dodol rokok surungan. Olok-olok semacam itu –termasuk sikap menghina dari teman mahasiswi– tak pernah menyurutkan semangatnya.

Syamsul juga tak segan ngenger (sebagai pembantu) kepada temannya. Misalnya, memasak, mencuci piring, dan sebagainya. Hebatnya, di sela-sela berjualan rokok, kuliah, dan pekerjaan-pekerjaan lain itu, dia bisa aktif di organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Pemilik Sembilan perusahaan

Lulus S-1 dia langsung bekerja di perusahaan pelayaran ekspor-impor milik Korea Selatan. Setelah dua tahun bekerja, dia pindah ke perusahaan rokok Sampoerna. Dua tahun di Sampoerna, dia pindah lagi ke perusahaan ekspedisi Pulau Laut Group. Waktunya juga dua tahun.

Setelah enam tahun bekerja, Syamsul merasa tabunganya cukup banyak. Dia lalu keluar dari perusahaan itu pada 1995. Bersama beberapa temannya dia patungan mendirikan perusahaan forwarding, PT Gama. Uang yang terkumpul dari patungan itu sekitar Rp 100 juta.

Namun, uang itu hanya cukup untuk kantor. Antara lain, sewa kantor sekitar Rp 33 juta, DP mobil Rp 15 juta, plus beli komputer, sepeda motor, mebeler, dan lain-lain. Uang kontak tinggal Rp 10 juta. Waktu itu karyawannya dua orang, seorang office boy (OB) dan bagian keuangan, plus Syamsul sendiri.

Untunglah, ketika bekerja di tempat lain, Syamsul sudah membangun hubungan baik dengan beberapa relasi. Waktu dia buka bisnis, mereka menjadi customernya. Antara lain, Cheil Samsung (kini Cheil Jedang) dan PT Kodeko.

Dari merekalah Syamsul mendapatkan modal kerja. Mereka bersedia membayar di muka atas pelayanan jasa PT Gama.

Seiring perjalanan waktu, PT Gama terus berkembang ke bidang usaha lain. salah satunya sebagai penyedia, pemelihara, dan pengoperasi alat berat.  

Kini Gama menjadi holding company, Gama Group, yang membawahkan sembilan perusahaan. Mereka tersebar di seluruh indonesia dan menyerap tak kurang dari 1.400 orang. Perusahaan-perusahaan itu bergerak di bidang bongkar muat di pelabuhan, tambang pasir dan batu, trading, transportasi darat, dan lain-lain.

Syamsul berusaha keras agar semua perusahaannya berkualitas. Karena itu, ayah empat anak tersebut tak segan-segan membeli peralatan atau kendaraan modern. Misalnya untuk bisnis di bidang transportasi darat. Dia punya truk kelas berat, multi axle. Kendaraan itu mampu mengangkut beban sampai 1.500 ton. Dia memiliki dua unit truk yang dikendalikan dari jarak jauh tersebut.

Pria yang sedang menyelesaikan disertasi di Unair itu sangat bersyukur cita-citanya menjadi orang kaya terkabul. Kini, sebagai preskom dia tak lagi diburu-buru pekerjaan.

Pikiran dan tenaganya lebih banyak dicurahkan untuk beribadah. Antara lain, sebagai wakil ketua Majlis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Dia juga menjadi pembina Muhammadiyah Suko Manunggal dan mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqmanul Hakim (STAIL).

Selain itu, dia banyak membina anak-anak muda untuk berwirausaha. Dia berharap Unair terus mempertajam keilmuan mahasiswa di bidang wirausaha.

Sumber : Buku Jejak Langkah Ksatria Airlangga

Tags :