Tak Peduli Dianggap Anti Pembangunan Thursday, 26 October 2017 01:37

Ada tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan. Yakni, profit, people, dan planet. Masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Mencari keuntungan tidak bisa menepikan manusia. Mencari keuntungan juga tidak bisa cuek terhadap lingkungan hidup atau bumi tempat kita tinggal.  

Keseimbangan tiga hal tersebut menjadi concern aktivis lingkungan Prigi Arisandi. Lulusan Jurusan Biologi (saat itu masih Fakultas MIPA), Unair angkatan 1994 tersebut memilih mengawal tiga hal tersebut sebagai laku hidupnya.

Prigi yakin, persoalan lingkungan hidup yang kerap disepelekan bakal menjadi bumerang. Akibatnya akan berdampak pada manusia sendiri. Dia mencontohkan, Amerika Serikat. Pada kurun 1950 sampai 1980-an, lingkungan hidup bukan sesuatu yang menjadi perhatian.

Namun, setelah muncul berbagai penyakit baru, seperti kanker payudara, mereka mulai mencari akar masalahnya. Dan, salah satunya ada pada lingkungan. Pencemaran lingkungan marak.

Begitu juga di Jepang. Di negeri matahari terbit tersebut, lingkungan hidup bukan menjadi isu utama. Baik pemerintah maupun masyarakat begitu abai. Situasi yang sama seperti di Amerika pun terjadi. Mulai terjadi penurunan kualitas hidup. Muncul penyakit baru yang belum pernah ada sejarahnya di negeri samurai tersebut.

Karena itu, negara-negara maju pun mulai mengalihkan industrinya ke luar negeri. Tujuannya, efek buruk lingkungan tidak ikut mereka rasakan. Itulah sebabnya, kata bapak tiga anak tersebut, justru Indonesia yang dibanjiri pabrik dua negara itu dan negara-negara lain.

Indonesia, kata Prigi, boleh-boleh saja menerima investasi. Sebab, kebutuhan akan lapangan pekerjaan memang sangat besar. Namun, bukan berarti tanpa upaya menjaga lingkungan. Memang, di masyarakat mulai muncul kesadaran untuk menjaga alam. Tapi, kesadaran tersebut hanya pada sudut pandang umum, seperti pemanasan global, mencairnya es di kutub, dan efek rumah kaca.

Padahal, di level lokal, pencemaran lingkungan di Kota Surabaya dan sekitarnya nyata-nyata terjadi. Bahkan, efeknya langsung terasa. Dia mencontohkan hasil penelitian terhadap ikan di kali Surabaya. ikan-ikan yang kerap terpapar limbah pabrik dan rumah tangga itu 20 persen di antaranya menjadi transgender.

Selain itu, dia menemukan bahwa jumlah ikan betina mencapai 80 persen. Padahal, seharusnya perbandingan ideal kedua jenis kelamin adalah 50 : 50. Ikan yang tercemar bakal mempengaruhi metabolisme, bahkan DNA, manusia saat dikonsumsi.

Namun, pilihan hidup yang diambil Prigi bukan tanpa hambatan. Justru dia seperti melawan arus. Sebab, lulusan S-2 Biologi Unair itu kerap dianggap anti pembangunan. Dia juga dianggap menjadi penghambat pertumbuhan industri. Prigi tidak peduli. Menurut dia, anggapan tersebut muncul karena orang tidak memahami situasi yang sedang terjadi. Penyebabnya sederhana. Mereka memang tidak tahu.

Prigi bersama Ecoton –lembaga penyelamat lingkungan yang dia dirikan pada 1996– berusaha membangun kesadaran tersebut. Kesadaran itu tidak dibangun hanya dengan seruan moral. Tapi, melalui penelitian ilmiah. Dengan begitu, tidak ada yang bisa membantah rekomendasi yang dia ajukan. Sebab, semuanya dihasilkan dari penelitian secara detail.

Penelitian tersebut menjadi fondasi semua gerakan penyelamatan lingkungan yang dia lakukan. Apalagi, Prigi percaya, penyelamatan lingkungan bukan semata-mata tugas orang-orang berlatar ilmu pasti seperti dirinya yang belajar biologi. Berbagai disiplin ilmu harus terlibat. Mulai praktisi hukum, birokrat pemerintahan, hingga para penegak hukum.

Penelitian, kata dia, menjadi fondasi untuk melakukan gerakan advokasi yang lebih serius. tujuannya, hasil penelitian bukan hanya menjadi seruan moral. Hal itu menjadi dasar dari tindakan hukum yang lebih serius.

Atas berbagai kiprahnya tersebut, dia menuai banyak penghargaan. Pada 2008 dia mengikuti Environmental Leadership Programme University of California di Berkeley. Kemudian, pada 2011 dia menerima Goldman Environmental Prize.

Pada 2013, sebagai direktur Ecoton, dia menerima penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan. Kini sudah dua tahun Prigi menjadi pengajar di Universitas Ciputra. Dia mengampu mata kuliah Social Entrepreneurship.

Sumber : Buku Jejak Langkah Ksatria Airlangga

Tags :