Dalam aksi terorisme, anak-anak selalu menjadi korban. Bahkan, dia ikut sebagai subjek dalam aksi tersebut. Problemnya, bagaimana cara melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak itu. Tidak mempan sekadar dinasihati.
’’Kok bisa anak-anak ini berani maju, membawa bom,’’ ujar Ahmad Cholis Hamzah seraya geleng-geleng. Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Airlangga itu masih ingat kronologi meledaknya bom di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5) dan Senin (14/5). Dua di antara tiga gereja tersebut diledakkan oleh anak-anak.
Cholis heran, mereka seperti tidak punya rasa takut. Masuk begitu saja ke pelataran gereja. Bom dililitkan di pinggang, dipangku di paha. Keberanian tersebut tidak mungkin terkumpul jika tidak dipengaruhi sesuatu. Ajaran yang mungkin dipupuk sejak lama oleh orang tuanya. ’’Lantas, bagaimana peran pendidikannya?’’ lanjut Cholis
Pertanyaan itu memantik diskusi cukup panjang di ruang redaksi Jawa Pos kemarin. Sebanyak 15 alumnus Universitas Airlangga berkumpul. Mereka datang dengan latar belakang beragam keilmuan. Banyak sudut pandang yang dipaparkan. Diskusi pun berlangsung gayeng.
Kasus semacam itu sebenarnya sudah cukup banyak ditemui di luar negeri. Misalnya, yang terjadi di Boko Haram. Namun, tidak lazim di Indonesia. Apalagi, anak-anak tersebut diajak orang tuanya.
Di antara anak-anak yang terlibat itu, ada yang selamat. Karena itu, merekalah yang perlu mendapat penanganan serius dari pemerintah. Mereka, lanjut Cholis, tidak bisa hanya dituturi. Dinasihati agar tidak berperilaku negatif dan destruktif. ’’Yang begini-begini tak akan mempan,’’ ujarnya.
Amira Paripurna menanggapi. Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Unair itu menilai bahwa pola terorisme yang melibatkan anak tersebut terbilang baru. Analisis sementara, keluarga adalah sel terkecil dalam struktur sosial. Tak perlu heran apabila intelijen kesulitan melacak mereka. Tidak seperti teroris yang bergerak per individu yang bergabung dalam satu kelompok. ’’Kalau masih dalam satu kelompok, kemungkinan masih bisa disusupi. Tapi, dalam keluarga, lebih sulit,’’ tuturnya.
Terlepas dari analisis taktis itu, Amira lebih concern ke psikologis anak. Dia mengatakan pernah mewawancarai dua remaja. Usia 16 tahun dan 17 tahun. Mereka ditahan di Salemba karena berniat meledakkan bom di kantor polisi di Sulawesi Selatan. ’’Pemahamannya ternyata sudah sangat dalam,’’ kata Amira.
Keduanya tidak ragu membeberkan keyakinannya tentang negara khilafah. Bagi mereka, negara khilafah harus diperjuangkan. Jangan sampai ketika mereka meninggal khilafah belum ditegakkan. ’’Yang ditanamkan ke mereka itu untuk heroik. Malah tidak ada katakata surga,’’ terangnya.
Ahmad Chusairi, dosen Fakultas Psikologi Unair, mengatakan bahwa anak-anak memiliki kesadaran ideologis sejak usia 12 tahun. Sebelum itu, mereka lebih mudah diarahkan. Di atas itu, mereka punya pemahaman sendiri. Bahaya jika sudah tercekoki hal-hal negatif. ’’Mengcounter-nya itu tidak bisa sembarangan,’’ ujar Chusairi.
Kebiasaan (nature) dan kultur anak harus diperhatikan. Antara anak Surabaya dan anak Jakarta, perlakuannya juga tidak bisa disamakan. Sementara pendidikan masih menyamaratakanpenangananuntukanak-anak.’Perlucara-cara out of the box,’ terangnya.
Para akademisi itu pun membuat rumusan awal. Anak-anak teroris yang masih selamat harus ditangani secara hati-hati.
Sumber: Jawa Pos