Cara dan Konten Deradikalisasi Harus Cair (Diskusi IKA UNAIR Terkait Terorisme 2-Habis) Monday, 21 May 2018 00:48

Meletusnya terorisme di Surabaya tak ayal menimbulkan kembali pro-kontra lama. Kaitan terorisme dengan agama masih menjadi topik panas, terutama di dunia maya. Padahal, banyaknya aksi teror di Timur Tengah sejatinya tidak didasari agama.

ANAKANAK para terduga teroris mungkin sudah dipengaruhi radikalisme. Tak tahu sebesar apa. Namun, sekecil apa pun yang diajarkan orang tuanya tetap mempunyai potensi negatif pada anak-anak tersebut. Hal itu menjadi titik kesepahaman para akademisi lintas keilmuan Universitas Airlangga dalam diskusi di ruang redaksi Jawa Pos pada Rabu (16/5).

Publik pun tahu bahwa radikalisme harus dilawan dengan deradikalisasi. Masalahnya, bagaimana cara melakukan deradikalisasi yang tepat? Bukan dengan memaksakan ideologi lain masuk untuk memberangus ideologi radikal mereka. Harus dilakukan cara yang out of the box. Yakni, pendekatan yang sesuai dengan anak-anak. ”Entah lewat komik, video, dan kartun,” ujar dosen Psikologi Unair Ahmad Chusairi di tengah diskusi tersebut.

Cara itu juga diterapkan orang tua mereka yang terduga teroris. Anak-anak dipertontonkan video tentang kepahlawanan kelompok yang mereka sebut ”jihadis”. Media tersebut lebih mudah diterima anak-anak. Cara lainnya bisa melalui cerita dan dongeng yang dituturkan. Itu seperti kebiasaan orang tua zaman dulu.

Upaya pemerintah yang kini semakin digalakkan adalah pendalaman nasionalisme. Antara lain, belajar PPKn, meng- ikuti upacara, dan mempelajari sejarah perjuangan nasional. Upaya tersebut akan mental kalau tidak disampaikan dengan cara yang asyik.

Penyampaian deradikalisasi harus cair, tidak boleh terlalu ndakik. Itu menurut Chusairi. Penyampaian yang terlalu serius malah akan membuat masyarakat, apalagi anak-anak, bingung. Mereka jenuh. ”Harus yang biasabiasa saja, santai, tetapi pesannya tetap masuk,” ucapnya.

Menurut Haidar Adam, pengajar dan peneliti sekaligus alumnus Fakultas Hukum Unair, upaya menangkal radikalisme tak berbuah signifikan. ”Deradikalisasi masih gagal,” tuturnya. Itu terlihat melalui peristiwa Mako Brimob yang menurut Haidar adalah early warning bagi pemerintah. Hingga akhirnya, ada pengeboman di beberapa titik di Surabaya.

Peristiwa tersebut juga menjadi trigger untuk memaksa disahkannya rancangan undang-undang (UU) terorisme. ”Padahal, belum tentu dengan adanya UU jadi beres, belum tentu berfungsi,” jelasnya. Dia mencatat, ada satu poin dalam RUU tersebut yang bakal menimbulkan semakin banyak kekisruhan. Yakni, memperbolehkan aparat menangkap terduga terorisme tanpa bukti. ”Ini malah akan menimbulkan kekerasan pada warga yang sebenarnya tidak bersalah,” tegasnya.

Di samping metode, sebenarnya yang lebih penting adalah konten yang disampaikan. Boleh jadi, cara penyampaiannya sudah menyenangkan, gampang diserap. Tetapi, jangan sampai pemahaman yang disebarluaskan salah. Itu malah menimbulkan fitnah dan kecurigaan di sana-sini.

Gampangnya, soal berpakaian. Ahmad Cholis Hamzah, pengurus Ikatan Alumni Unair, menjelaskan bahwa masih banyak masyarakat yang menyalahartikan cara berpakaian. Bila menggunakan cadar atau niqab, perempuan tersebut adalah muslim. ”Padahal, ini hanya masalah budaya. Semua orang di Arab juga pakaiannya begitu meskipun bukan muslim,” tegasnya. Bukan masalah perintah agama saja, dengan alam Timur Tengah yang panas dan berdebu, gaya berpakaian itulah yang paling nyaman.

 

Sumber:  Jawa Pos

Tags :