Tak Ada Kesempatan Kedua, Kerjakan dengan Serius Friday, 08 March 2019 06:52

Sebagai alumnus jurusan IPA saat SMA di Jakarta, Meytha sejatinya ingin kuliah di Jurusan Teknik Lingkungan ITB yang menjadi cita-citanya. Apalagi, teman-temannya sekelas waktu di SMA rata-rata memilih kuliah di jurusan teknik ITB atau ekonomi UI.

Kalaupun dia mengambil kuliah di Jurusan Kesehatan Masyarakat, itu lebih karena pengaruh faktor keluarga. Ditemui di sebuah resto minimalis modern di Surabaya Selatan, Meytha mengaku pilihanya pada jurusan public health lebih karena pakde dan tantenya yang bergelut di kesehatan masyarakat.

Pakdenya, Prof. Budi Utomo, adalah staf pengajar dan guru besar di FKM UI. Bahkan, sang tante juga berkecimpung di dunia public health. Adapun ayahnya kontraktor di Tuban. Karena itu, Meytha sempat merasakan pendidikan TK di Surabaya, sebelum kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan.

Karena itu, saat mengisi kolom jurusan pilihan di lembar pendaftaran seleksi masuk PTN, dia menempatkan jurusan kesehatan masyarakat UNAIR di pilihan kedua dan Teknik Lingkungan ITB di pilihan pertama.

Nasib akhirnya mengantarkan Meytha ke Jurusan Kesehatan Masyarakat (dulu jurusan di Fakultas Kedokteran) UNAIR pada 1993. Meytha sangat bersyukur karena diterima di jurusan yang dipilihnya. Meski dalam pikirannya, dia tetap bingung mau jadi apa dengan kuliah di public health?

Karena sudah pilihan, semua dijalani dengan ikhlas. Dia ingin mengikuti jalan hidupnya. Satu hal yang diyakini, semua tidak akan sia-sia jika dijalani dengan sungguh- sungguh.

Dia menanamkan keyakinannya sejak semester awal kuliah bahwa jurusan public health pasti laku. Ke depan pasti dibutuhkan. ”In the future, jurusan ini pasti memiliki masa depan,” ungkapnya.

Selain itu, dia sadar dengan perjuangan orang tua menyekolahkannya sampai jenjang pendidikan tinggi. Dia tak ingin semuanya sia-sia. Meytha membulatkan tekad untuk kuliah di Surabaya meski tinggal terpisah dengan keluarga di Jakarta.

 

Cari Biaya Hidup Sendiri

Untuk menunjukkan darma bakti kepada orang tua, selain meraih prestasi kuliah yang cukup baik, Meytha mulai belajar mencari uang untuk membiayai hidup dan kuliahnya di kota perantauan.

Awalnya sebagai mahasiswa baru, Meytha aktif mengikuti kegiatan-kegiatan penelitian bersama dosennya. Dia juga aktif di kegiatan-kegiatan FGD. Selain mengasah pengetahuan, dia juga mulai sedikit memperoleh tambahan uang saku.

Kemudian sebuah peluang kerja part time ditemuinya saat dia ditawari pacar teman kosnya yang bekerja di sebuah resto cepat saji, McDonald di Delta (kini Surabaya) Plaza.

Sekali melamar, Meytha diterima. Kecakapannya berbahasa Inggris menjadi modal dia diterima bekerja, selain nilai kuliahnya yang cukup baik.

 

Skripsi tentang Kesehatan Kaum Gay

Sampai suatu saat ketika harus mengambil skripsi, Meytha pun ingin meneliti pola nutrisi di resto cepat saji itu. Tapi baru diusulkan, judul itu ditolak. Tempatnya bekerja tidak memberi izin untuk dijadikan tempat penelitian.

Meytha tak putus asa. Keterlibatannya dalam beberapa penelitian mengarahkan keinginannya untuk meneliti perilaku homoseksual para gay di Surabaya. Terutama dalam pola kesehatan.

Ini sebenarnya juga masih terkait dengan tempat kerjanya meski tidak secara langsung. Meytha yang bekerja di resto franchise asing itu kerap menjumpai perilaku beberapa gay yang suka mangkal tak jauh dari tempat dia bekerja. Lokasi yang dikenal sebagai Pattaya di tepian Kalimas Surabaya itu menjadi tempat favorit para pria pengagum sesama jenis ini untuk bercengkerama dan memadu kasih.

Begitu diajukan, judul penelitiannya langsung disetujui dosen. Sejak itulah, dia harus terjun sendiri untuk meneliti perilaku para gay di Kota Pahlawan. Untuk setiap pilihannya itu, Meytha memang tak main-main.

Selain terjun sendiri, dia dikenalkan dosen FISIP UNAIR yang kini menjadi mertuanya dengan salah satu tokoh gay Surabaya yang juga staf pengajar di FISIP, Dr. Dede Utomo.

Jadilah Meytha terjun dan belajar seluk beluk perilaku kesehatan dan kehidupan para homoseksual. Meytha pun sukses mendapatkan nilai memuaskan dalam skripsinya tersebut.

 

Mengantarkan ke Karir

Tanpa disadari, penelitian Meytha tentang kaum gay membawanya pada bidang kerjanya saat ini. Setelah lulus pada 1997, Meytha diterima bekerja sebagai staf konsultan HIV/AIDS di PATH (Program for Appropriate Technology in Health) di bawah WHO di Jakarta.

PATH dikenal sebagai lembaga konsultan untuk gizi yang menangani para pekerja di delapan pabrik Nike di dunia, termasuk di Indonesia. Tak main-main, untuk melamar pekerjaan itu, Meytha harus wawancara dengan direktur Nike langsung di Bangkok, Thailand.

Dia pun terlibat dalam proyek PATH di beberapa negara selama bertahun-tahun. Bahkan, dia sempat belajar tentang HIV di Kenya, Afrika. Termasuk presentasi projek untuk peningkatan kemampuan staf di markas besar PATH di Washington DC, Amerika Serikat.

Selain itu, kemampuan berbahasa Inggris membuatnya diterima sebagai interpreter sebuah universitas di Belanda untuk program-program penanganan HIV di Papua. Dia pun masuk dalam kalangan profesional di Royal Tropical Institute.

 

Capaian di Luar Estimasi

Semua pencapaian itu di luar estimasinya saat memilih berkuliah di FKM UNAIR. ”Di sinilah saya merasa bangga masuk public health. Semua ilmu di S-1 maupun S-2 kepake,” tuturnya. Setelah bekerja di PATH dan beberapa lembaga NGO selama 17 tahun, Meytha memang meneruskan program magister di University of Amsterdam Belanda pada 2016.

Dalam hidupnya, Meytha meyakini satu hal. ”Ambillah kesempatan yang ada di depan mata karena tidak pernah ada kesempatan kedua. Untuk itu, jika kau sanggup mengerjakannya, persiapkan dirimu sebaik-baiknya untuk kesanggupan itu.”

Sebagai profesional di bidang public health, Meytha mengaku yang menjadi pemikirannya saat ini adalah nilai-nilai pencegahan atau kuratif belum dijalankan secara sungguh-sungguh di tanah air. Baik oleh pemerintah, rakyat, maupun lembaga yang menangani kesehatan.

Untuk mengubah pola hidup sehat, misalnya, paradigma fisik masih ditonjolkan. Seperti pembangunan infrastruktur dan penambahan tenaga kesehatan. Hal itu perlu, namun tidak menjamin sustainable atau keberlangsungannya.

”Padahal, untuk mengajak orang berbudi, tidak bisa dilakukan tanpa intervensi atau pelatihan untuk orang itu berbudi,” katanya.

Dia melihat pendekatan kesehatan belum respek dengan ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi atau sosiologi. Pendekatan masih dilakukan secara ilmu fisik. Penanganan kesehatan di suku-suku di Papua, misalnya, lebih dilakukan dengan cara fisik.

Tidak dipahami bahwa hal itu bisa diubah dengan pendekatan antropologi dan sosial dengan memahami budaya dan gaya hidup mereka. Keputusan atau kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan bisa dilakukan dengan pendekatan sosial.

Kasus lain adalah munculnya gejala stunting atau obesitas di urban area seperti di Surabaya dan Jakarta. Hal ini tak lepas dari pola asuh dan pola pikir masyarakat yang menyangkut lifeskill. Misalnya, ada keluarga miskin yang lebih tega melihat anaknya kurang gizi daripada tidak bisa membayar kredit motor. Ini karena pola asuh yang tidak tepat.

Tags :