Mengabdikan Diri Demi Kesehatan Masyarakat Tuesday, 19 March 2019 07:55

Yuyung Abdi fotografer sekaligus jurnalis senior di Surabaya. Ia alumni Fakultas Sain dan Teknologi (FST), dulu Fakultas Matamatika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Airlangga (UNAIR).

Yuyung mangatakan, begitu beragam pengalaman empiris didapat dari kampus. Menurut Yuyung, kampus bukan lagi hanya tempat menimba ilmu. Teman kampus kadang memberi inspirasi dalam sejumlah bidang. Relasi, koneksi, pengakuan maupun akses sering dimulai dari kampus.

“Saya teringat betapa keinganan saya mencari kampus yang memberi perhatian khusus pada fotografi. Saya belum menemukan itu di universitas negeri. Pilihan saya jatuh pada fakultas Sains & Teknologi, jurusan kimia,” tuturnya.

Ilmu yang mendekati dengan kemampuan Yuyung ada dalam eksakta. Namun kelanjutannya, antara kesenangan dan bidang akademis awal yang ia tempuh tidak berhubungan. Tapi, lanjut Yuyung, ilmu kimia sangat bermanfaat untuk pengetahuan. Meski akhirnya Yuyung menyadari tidak bisa bekerja nyaman dalam ruang tertutup. “Tidak bisa berjalan-jalan, hanya berkonsentrasi di laboratorium,” katanya.

Dari kampus FST, kata Yuyung persahabatannya dimulai. Berhubungan dengan banyak orang di kampus. Apalagi kemampuan bidang fotonya sangat diapresiasi dan dikenal juga sejumlah kalangan di luar kampus.

“Berkenalan dengan teman-teman yang memiliki akses di institusi kerja, seperti foto untuk kalender waktu mahasiswa, memotret fenomena ekonomi,” lanjut Yuyung meraih doktor komunikasi dari sekolah pascasarjana UNAIR.

 

Bertemu Penggemar Foto

Menurut Yuyung, di kampus UNAIR juga, ia menjalin hubungan penggemar foto di kampus dan memprakarsai pembuatan wadah ekstrakulikuler fotografi di UNAIR. Menggandeng penggemar foto kampus untuk memotret acara UNAIR, meski tidak banyak yang memiliki kamera saat itu. “Berikutnya berkenalan juga dengan dosen FISIP sehingga banyak menambah persahabatan dan pengetahuan foto. Waktu itu, mata kuliah fotografi tergolong baru,” katanya.

Yuyung mengaku bahwa Passion-nya cenderung fotografi dibanding kimia. Meski, kegemarannya juga menulis tentang persoalan lingkungan di kolom mahasiswa di Koran Surabaya Post kala itu.

Pada saat Jawa Pos membutuhkan foto jurnalis setingkat sarjana, akhirnya Yuyung bergabung. Waktu itu, ia sudah menyelesaikan semua mata kuliah. Hanya belum menyelesaikan skripsi. Jawa Pos memilih Yuyung menjadi fotografer alias jurnalis foto. “Dari sekitar 150 pelamar, dipilih 4 orang setelah diseleksi 25 orang,” katanya mengenang saat masuk Jawa Pos.

 

Tidak Santai

Kerja di Jawa Pos, ternyata tidak santai. Yang bisa diatur antara kerja dan kuliah. Liputan di berbagai tempat, membuat konsentrasi Yuyung menulis skripsi terbengkalai. Ini yang akhirnya ia mendapat teguran. Karena teguran itu Yuyung harus menghadap dosen pembimbing agar segera menyelesaikan kuliahnya.

Yuyung mengaku menyesal tidak segera menyelesaikan skripsi. Ia jelaskan bahwa saat itu telah bekerja di Jawa Pos. Untung dosen pembimbing memaafkan. “Dalam waktu dua minggu Yuyung dapat menyelesaikan skripsi,” ujarnya.

Yuyung mengatakan setelah bekerja di Jawa Pos pengalaman yang peroleh, sedikit demi sedikit ia tulis, teknis maupun kajian (analisis). Sebab banyak hal baru yang ia alami di medan liputan sebagai jurnalis foto yang tidak ada dalam buku. Saat itu buku tentang fotografi sangat minim, apalagi buku fotografi jurnalistik. “Tahun 2004, saya menerbitkan buku tentang foto jurnalistik,” katanya.

Tahun 2006, pihak Program Studi (Prodi) Komunikasi FISIP menawari menjadi pengajar fotografi. Waktu itu hanya satu dosen saja dan pembantu dosen yang khusus mengajar ini. Referensi buku fotografi pun tidak banyak.

“Jadi kehadiran saya memberi sentuhan tentang fotografi secara keilmuan yang didapat dari pengalaman liputan sebagai jurnalis, khususnya perkembangan peta fotografi di Indonesia.

Semula dalam Prodi Komunikasi hanya ada fotografi, setalah perkembangan dunia visual makin besar ditambah mata kuliah foto jurnalistik dan foto produk digital. Awalnya hanya beberapa mahasiswa ikut. Tapi, kian tahun jadi bertambah hingga 70 mahasiswa, meskipun tidak wajib.

 

S2 dan S3 Studi Fotografi

Dari FISIP UNAIR itu, tutur Yuyung, terdorong untuk lanjut studi S2 untuk menekuni fotografi yang berkaitan dengan media dan komunikasi. Pengetahuan fotografi diperluas dalam kajian media. Yuyung mengembangkan analisis fotografi dari produksi tanda, bukan dari rana semiotik, mengkaji foto karya orang lain.

Tentu, awalnya jadi pertentangan pendapat. Sebab, belum ada foto karya sendiri dianalisis sendiri. Yang ada foto karya orang lain yang dianalisis sendiri. “Tapi, saya bilang, jika seorang tidak bisa masuk di ranah yang ingin kita teliti, apakah harus menunggu foto orang lain, baru kita teliti,” katanya.

Bahkan, kata Yuyung, kajiannya pun tidak seperti yang diharapkan. Tesis tentang produksi tanda lewat fotografi tidak pernah dilakukan dalam lingkup komunikasi, karena sering menggunakan semiotik untuk menganalisis karya foto orang lain. Sedikit sekali referensi. Tapi, beberapa dosen tetap mendukung karena ini sebagai kajian baru.

Tantangan membuat teori tentang produksi tanda (foto) memacu Yuyung untuk meneruskan kuliah S3. Karena belum ada S3 komunikasi ia masuk ilmu sosial dengan bidang minat komunikasi dengan latar belakang fotografi.

Di situlah, kata Yuyung, ia dapat tambahan kajian fotografi dengan landasan sosiologi. Lantas, Yuyung membuat metode lens phenomenology saat mengupas fenomena sosial dalam lingkup visual. “Ini jadi inspirasi baru, menggunakan riset foto untuk penelitian,” papar jurnalis senior Jawa Pos ini.

Yuyung menuturkan yang paling berkesan saat studi S3 ialah ia berkeliling di 26 tempat prostitusi di seluruh Indonesia dan mengikuti 6 (enam) kehidupan pekerja seks, hingga butuh waktu 3,5 tahun. Ini jarang sekali dilakukan dengan jumlah tempat paling banyak.

Hasil desertasi diapresiasi dengan sangat memuaskan. Saya merupakan fotografer profesional (fotografer media) pertama yang meraih gelar doktor. Ada 3 doktor lain, dengan latar belakang dosen.

“Dari disertasi ini, saya memutuskan membuat buku “Etalase”, yakni prostitusi 60 tempat di seluruh Indonesia. Saya berkeliling lagi ke kota-kota melengkapi kota yang belum saya kunjungi,” ujarnya.

 

Profil Singkat

Nama                           :           Dr Yuyung Abdi M.Si

Pekerjaan – Profesi     :           Jurnalis Foto (Fotografer)

 

Pendidikan:

S1 FST Unair

S2 Ilmu Komunikasi UNAIR

S3 Ilmu Sosial UNAIR

Tags :