Semua Hal Selesaikan dengan Cara Terbaik Wednesday, 12 June 2019 07:33

Tak selamanya pilihan yang dilakukan dengan keputusan cepat dan terkesan grusa-grusu akan mendatangkan hasil yang jelek. Justru pilihan yang dilakukan Estiningtyas Nugraheni, S.K.M., M.Kes. saat memutuskan kuliah di Program Studi Kesehatan Masyarakat -yang pada saat itu belum menjadi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair- demi menghindari kuliah di jurusan kedokteran umum justru menjadi jalan kesuksesannya saat ini.

Esti pun bercerita, ia masuk program studi (prodi) Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tahun 1988 dan lulus tepat empat tahun pada 1992. Ia mengaku Prodi kesehatan masyarakat bukanlah pilihannya. Karena sebenarnya dia ingin masuk ke fakultas kehutanan atau pertanian.

“Namun, Ibu saya kurang sependapat karena menurut beliau keduanya kurang cocok untuk saya. Beliau menyarankan untuk mengikuti saran almarhum nenek saya agar sekolah di bidang kesehatan,” katanya.

Akhirnya, dia pun menuliskan pilihan pada fakultas kedokteran di pilihan pertama, dan fakultas pertanian pada pilihan kedua. Namun demikian, kebimbangan masih berkecamuk dalam pikirannya.

“Selama perjalanan dari tempat tinggal saya di Pare, Kediri, menuju kota Malang untuk menyerahkan formulir, saya terus berdoa dan bertanya kepada Tuhan untuk meyakinkan apakah pilihan saya sudah benar,” katanya.

“Sebab, sesungguhnya saya masih kurang sreg dengan pekerjaan dokter yang harus menerima uang dari orang sakit,” tambahnya. Saat itu yang terekam dalam memorinya adalah tiap kali harus ke dokter, maka ibu yang akan membayar biaya berobat langsung kepada dokternya. Ya, dia sendiri.

“Saya tidak suka dengan pekerjaan semacam itu,” tukasnya. Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan di kepalanya itu malah membuatnya bingung. Bahkan, dia sampai tidak tahu harus bagaimana memutuskan.

Saat pergi sendirian dengan naik bus antarkota ke Malang untuk mendaftar itu, sampai di Terminal Bus Arjosari dan berganti angkot menuju tempat pendaftaran di kampus Universitas Brawijaya, isi kepala Esti masih ramai berdebat, akan ganti jurusan atau tidak.

Setelah mengantre cukup lama, Esti sampai ke depan petugas penerima berkas pendaftaran. Petugas menyatakan dokumen pendaftarannya sudah benar. Dia pun dipersilahkan untuk pulang.

Pada saat itulah, seperti tergerak otomatis oleh hati nuraninya, tiba-tiba dia meminta kembali berkas pendaftaran dan sejurus kemudian mengganti pilihan dari jurusan kedokteran menjadi jurusan di bawahnya, yakni kesehatan masyarakat. “Tanpa mempertimbangkan apapun. Pokoknya saya ingin ganti saja,” ucapnya lantas tergelak.

 

Orang Tua Kaget

Pada saat pengumuman penerimaan mahasiswa, Esti mengaku semua orang di keluarganya terkaget-kaget. Kok, Esti masuk jurusan kesehatan masyarakat. Tak sekadar heran dengan pilihan Esti. Mereka juga bertanya-tanya apa itu kesehatan masyarakat. Program studi baru yang waktu itu masih diampu di Fakultas Kedokteran.

“Tapi tidak hanya mereka (pihak keluarga, Red), saya sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa-apa tentang kesehatan masyarakat,” ungkap Esti. Meski demikian, perempuan berkacamata ini tetap menjalani pilihannya.

“Yang penting dijalani karena sudah terlanjur diterima. Orang tua saya juga mengajarkan, selesaikan dengan cara terbaik yang mampu kamu lakukan pada semua hal yang telah kamu mulai.” Hal inilah yang membuat Esti terus memompa semangat untuk berkuliah pada jurusan yang dia sendiri awalnya tidak mengerti.

Apalagi untuk bisa kuliah, tidak mudah baginya. Sejak kecil, Esti sudah yatim karena ditinggal ayahnya. Ibunya membesarkan anak-anaknya hanya mengandalkan uang pensiun dari sang ayah. Maka bisa dibayangkan jika kondisi ekonomi keluarga cukup sulit.

“Ibu mematok bahwa kemampuan beliau men-support biaya kuliah saya hanya selama tiga tahun. Selebihnya saya harus mengupayakan sendiri. Selain itu, Ibu saya juga minta agar semester kedua, saya bisa mengupayakan agar dapat mencicil uang kuliah semesteran,” tuturnya.

Alhamdulillah, berbekal keyakinan dan semangat untuk kuliah, Esti berani menghadap ke bagian kemahasiswaan di rektorat. Berbekal surat keterangan tidak mampu, akhirnya dia bisa mencicil uang kuliah selama satu semester. Sehingga mulai semester kedua, SPP yang mestinya dibayar langsung di depan satu semester sebesar Rp 120.000, bisa dicicil menjadi Rp 20.000 per bulan.

“Kalau sekarang saya ingat-ingat peristiwa itu, masih amazing. Betapa Allah telah memberikan pertolongan dengan tepat di saat saya membutuh-kan,” ucap ibu lima anak ini.

 

Cari Sendiri Biaya Kuliah

Tak hanya mencari keringanan biaya kuliah. Seperti pesan ibunya, Esti juga harus mencari biaya kuliah sendiri di tahun keempat kuliah. Namun saat itu, program beasiswa masih jarang. Apalagi bidik misi. Karena itu sejak semester tiga, Esti mulai belajar bekerja untuk menyambung hidup.

Bekal kemampuan mengetik dan dasar-dasar komputer sedikit membantunya. Karena, dia bisa menerima jasa pengetikan dan mengajar ITC (Introduction to Computer) di tempat kursus komputer yang ada di sekitar kampus. Selain itu, dia juga sering memberikan les bahasa Jawa yang dipelajarinya dari sang ibu untuk siswa SD yang membutuhkan. “Pokoknya apa saja dikerjakan asal dapat uang yang halal”, ujarnya.

Tak hanya itu. Untuk membeli buku-buku selama kuliah, sementara dana kiriman dari sang ibu sangat minim untuk kebutuhan kuliah dan sehari-hari, Esti menyiasati dengan rajin ke perpustakaan. “Saya membaca buku apapun pokoknya yang relevan dengan perkuliahan”,  katanya. Selain itu, saat kuliah dia selalu duduk paling depan agar dapat memperhatikan penjelasan dosen.

Rupanya strategi ini membawa Esti bisa lulus lebih dulu dibanding teman seangkatan. Walaupun tidak lulus cumlaude, tapi paling awal. Sehingga dia segera mendapatkan tawaran pekerjaan walaupun belum diwisuda.

“Sebenarnya ada lagi pertolongan Allah yang datang selama masa perkuliahan. Saya pernah menerima beasiswa aktivis kampus. Karena saya aktif pada kegiatan organisasi mulai himpunan mahasiswa, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun Senat sejak semester dua. Karena dinilai berkontribusi pada kegiatan kemahasiswaan, saya mendapat beasiswa aktivis sejak semester lima sampai lulus,” paparnya.

 

Organisasi Mahasiswa Modal Berprofesi

Esti sadar, kesempatan bekerja dan aktif di organisasi di tengah kesibukan kuliah membuatnya terampil dalam menjalani profesinya kini. “Itu merupakan modal yang sangat berharga bagi saya sekarang”,  ucap istri dari Ir.Firmanto Hadi, MSc ini.

Seperti saat dituntut harus mencari uang di antara jadwal kuliah yang padat, mengajarkannya pandai mencari peluang untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif. Seperti jasa pengetikan, penerjemahan literatur, juga menjadi asisten tim arsitektur sebuah pengembang di Batam. Pekerjaannya adalah menyusun material pameran termasuk maket masterplan.

Dunia yang baru ini mengajarkannya bagaimana meng-create fokus perhatian segmen sasaran melalui berbagai media informasi. “Saya belajar bagaimana memanfaatkan efek warna terhadap keinginan membeli dan lain sebagainya. Saat saya mengambil tesis, barulah saya tahu bahwa itu yang dinamakan psikografi”.

Saat mahasiswa pula, dia terlibat sebagai tenaga sukarela di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Meski saat itu keikutsertaannya cenderung suka-suka, kalau ada kegiatan datang, kalau tidak minat ya absen, namun itu membekali dirinya hingga sekarang aktif di Yayasan Onkologi Indonesia.

Namun demikian, pekerjaan formal pertamanya selepas kuliah adalah menjadi tenaga part time di BAAK sebuah universitas swasta di Surabaya. Pekerjaan ini dilakoni sejak masih semester 8 belum usai meski dia telah menyelesaikan skripsi.

Kemudian dia terlibat dalam pilot project safe motherhood di Probolinggo. Belum selesai project tersebut, pada Oktober 1992, dirinya tertarik untuk ikut seleksi menjadi staf sekretariat Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI).

“Saya tertarik karena saat seleksi oleh Prof Roem Soedoko (almarhum) saya ditanya, apakah kamu ingin terlibat pada pekerjaan yang nantinya akan menghasilkan dokter-dokter yang paling dibutuhkan negeri ini,” katanya.

Tanpa pikir panjang, walaupun pada saat yang sama juga diterima bekerja di sebuah bank swasta, Esti menerima tawaran pekerjaan dari POI walaupun gajinya lebih rendah. Namun pengalaman dekat dan bekerja sama dengan Prof. Roem Soedoko (alm) memberikannya banyak sekali pelajaran baik untuk kehidupan maupun pekerjaan. Terutama dalam hal bekerja sama dengan orang-orang dari negara lain.

 

Pelajaran Penting dari Senior

Selain Prof Roem Soedoko, Esti mengaku juga banyak mendapat pelajaran penting dalam pengembangan dirinya saat bermitra dengan para seniornya di POI. Antara lain saat membantu Prof. IDG Sukardja (alm), dan menjadi asisten untuk Prof. Benjamin Margono (alm) dan dr. Ario Djatmiko.

“Atas induksi dari beliau-beliau, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh   onkologi yang menginspirasi saya, pada akhirnya membawa saya menjadi seperti saat ini”, ujar perempuan kelahiran Kediri, 2 November 1969 ini.

Selepas kontrak dengan POI pada tahun 1994, Esti ditawari oleh dr. Ario Djatmiko terlibat pada rencana besar beliau mendirikan pusat penanganan kanker. Kebetulan orang yang seharusnya pada posisi tersebut sakit dan tidak mungkin lagi mengerjakan project.

“Jadilah keterlibatan saya dengan Klinik Onkologi Surabaya yang kelak menjadi Rumah Sakit Onkologi Surabaya dimulai”, katanya. Dan posisi tertinggi yang dipercayakan kepada Esti adalah Direktur yang dijabatnya sejak tahun 2003 awal hingga 2011. Jabatan itu harus dilepasnya karena UU Rumah Sakit tidak membolehkan selain tenaga medis memimpin rumah sakit.

Selepas dari RS Onkologi Surabaya, Esti bersama teman-temanya dari komunitas onkologi membangun bisnis sendiri dengan mendirikan perusahaan konsultan manajemen. Masing-masing dengan bendera PT. Eka Solusi Andalan dan PT. Saka Karya Mahardika.

Selain itu, alumnus Magister Administrasi Kesehatan Unair tahun 2000 ini juga aktif menjadi pengurus Yayasan Kanker Indonesia (YKI) sebagai sekretaris, dan kini sedang terlibat dalam berbagai organisasi profesi dan minat.

Seperti PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia) untuk profesi kesehatan masyarakat, IAKMI untuk peminatan kesehatan masyarakat, PERSI untuk Perumah sakitan, ARSSI atau Asosiasi RS Swasta, PERMAMPKIN untuk para professional yang menggeluti manajemen pelayanan kesehatan, PP-ARSI untuk profesional Administrasi RS, dan banyak lagi.

Selain itu, Esti juga pernah terlibat dalam berbagai pelatihan, training dan internship (magang) profesional baik di dalam maupun luar negeri.

Tags :