Alumnus sejarah yang jabat wakil dekan 1 FISIP universitas brawijaya Thursday, 20 July 2023 13:43


Dr.rer.pol. M. Faishal Aminuddin, S.S, M.Si, merupakan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya periode 2021 — 2025. Siapa yang menyangka, Ilmuwan politik bergelar Dr.rer.pol (doctor rerum politicarum) dari Jerman itu ternyata alumnus dari Ilmu Sejarah UNAIR. Dengan kata lain, Faishal berangkat dari sejarah, bukan dari ilmu politik.

Faishal bercerita awal mula kenapa dirinya menyukai sejarah. Ketika berusia 8 tahun, dia diberi buku ensiklopedia dan atlas dunia oleh kakeknya, seorang pegawai negeri di Djawatan Penerangan Kabupaten Lamongan. Dari situ dia merasa tertarik dengan sejarah. Seiring berjalannya waktu, kakeknya juga banyak bercerita tentang kisah perlawanan perang kemerdekaan. Bisa dikatakan, selain suka, Faishal juga memiliki akses bagus ke buku-buku sejarah. Ketertarikan - ketertarikan itu kemudian mengkristal hingga dia memilih kuliah di Ilmu Sejarah UNAIR tahun 1999.

“Sebenarnya bapak pingin saya itu jadi pegawai negeri dan meminta saya mengambil jurusan administrasi negara. Namun, hasil UMPTN menyatakan saya diterima di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UNAIR tahun 1999,” ungkapnya.


Menekuni Sejarah dengan Lintas Keilmuan

Semasa kuliah, Faishal sudah belajar lintas keilmuan. Hal itu dia lakukan karena percaya bahwa belajar bisa dimana saja. Di jurusan sejarah, Faishal menekuni filsafat, sejarah Eropa, dan metode penelitian. Ketekunan itu dia asah di perpustakaan dengan diskusi bersama teman-teman lintas jurusan seperti dari bidang psikologi, politik, sosiologi dan antropologi.

Tidak lupa, Faishal juga mengenang semua dosen yang pernah mengajarnya telah meninggalkan kesan yang mendalam. Cara mereka mengajar, meladeni diskusi bukan hanya di dalam kelas, tapi menerima kami di rumah hingga larut malam. Bagi Faishal, Kesabaran mereka itu memberikan referensi — yang membuatnya semakin kuat untuk belajar.

Di luar kelas, Faishal dan temantemannya bahkan membuat Surabaya Historian Study Club (SHSC) yang menampung banyak orang peminat sejarah. Beberapa anggota dari klub itu saat ini telah menjadi dosen di berbagai universitas.


Terbiasa dengan Ritme Organisasi

Selain aktif di kegiatan akademik, Faishal juga aktif di kegiatan non-akademik. Waktu itu, Fakultas Sastra adalah fakultas baru di UNAIR. Banyak hal yang harus diprakarsai, misalnya dia terlibat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Sastra, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah yang waktu itu baru dibentuk. Dia juga terlibat dalam pendirian Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) SITUS.

“Selain itu, saya juga bergabung dengan komunitas seni dan sastra yang “paling top” waktu itu: Namanya Forum Studi Seni dan Sastra Luar Pagar (FS3LP). Banyak sastrawan berkelas Jawa Timur dan nasional yang pernah aktif didalamnya,” ungkapnya.

Setelah lulus dari sejarah, Faishal tidak pernah berpikir bagaimana soal karir. Hal itu karena ukuran kesuksesan baginya adalah kontribusi dan kebermanfaatan untuk banyak orang. Dia juga menekankan bahwa pilihan berkarir yang baik adalah menyukai bidang yang cocok dengan kemampuan diri.

Diungkapkan, dia — pernah mencoba jadi wartawan, peneliti, sampai pedagang. Tapi dia merasa tidak cukup untuk memberikan kontribusi lebih karena passionnya memang bukan disitu. “Ini yang kemudian mendorong saya untuk melanjutkan studi magister sebagai pilihan,” tegasnya.


Bukan Sejarawan, Tapi Ilmuwan Politik

Ketika memutuskan melanjutkan magister, Faishal bertanya apakah cukup memiliki ketekunan untuk menjadi sejarawan?. Pengalamannya mengerjakan skripsi cukup membuatnya — pesimis. — Faishal menulis Skripsi tentang Boven Digul tahun 1927-1937 dimana upaya untuk mencari arsip kesana-kemari
sangatlah melelahkan. Dia bahkan sampai harus mengambil kursus 
Bahasa Belanda tambahan agar bisa membaca arsip, meski itu hasilnya ala kadarnya.

Menurut Faishal, proses penulisan sejarah tidak terlalu membebani, namun proses pencarian dan pengolahan data sejarahlah yang amat membutuhkan ketabahan.  tu yang membuat Faishal memutuskan mengambil Magister Ilmu Politik UGM tahun 2005. Dan benar saja, Faishal merasa cocok dengan Ilmu Politik, dibuktikan dengan IPK sempurna dan menjadi lulusan terbaik tahun 2007.

Setelah lulus, Faishal diterima sebagai Dosen Ilmu Politik UB tahun 2008. Sepanjang periode sejak mengawali pekerjaan tersebut, Faishal begitu menikmati menjadi dosen. Bahkan dia tidak bisa membedakan suka dan dukanya menjadi dosen, karena merasa belum mencapai hal-hal besar.

Padahal, pria kelahiran Lamongan, 22 November 1981 itu terbilang berprestasi. Buktinya, dia diamanahi mengemban Wadek 1 FISIP UB di usianya yang baru menginjak 40 tahun. Bersama Prof. Saseendran Pallikadavath, Faishal juga menggagas Portsmouth Brawijaya Centre Jor Global Health, Population, and Policy (PB Centre), Sebuah pusat kajian bersama antara Universitas Brawijaya dengan University of Portsmouth, Inggris. Pada tahun 2020, Faishal memenangkan hibah bergengsi dari United Kingdom Research Innovation (UKRI) untuk penelitian dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja migran Indonesia.

“Tapi kalau itu dianggapnya berhasil ya saya lebih menganggap jika ada mahasiswa saya yang sukses dan berguna,” ungkapnya dengan bersahaja.

Sampai sekarang, Faishal tetap merasa mengalir dalam berkarir. Biar orang yang menilai apa yang sudah dilakukannya, karena menurutnya, pencapaian itu subjektif. — Misalnya, — orang bisa memberikan standar bahwa dosen berhasil itu adalah mereka yang menjadi dosen berprestasi, artikelnya bisa “nongkrong” di jurnal bagus, dipublikasi oleh penerbit besar, menjadi selebriti media dan menduduki jabatan tertentu di kampus.

“Menurut saya, itu pencapaian (keberhasilan) yang relatif,” ujarnya. Faishal sangat terinspirasi oleh Gus Dur. Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden,

Faishal berhari-hari di jalanan untuk mendukungnya. Dari Gus Dur Faishal belajar bagaimana memiliki tanggung jawab moral dalam berpolitik itu penting, Bukan asal berkuasa dan mati-matian untuk mempertahankannya. Ada nilai yang lebih layak diperjuangkan daripada kekuasaan, yakni kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.

“Itu yang melandasi saya bersikap seperti itu,” tutup Faishal.


Sumber :  Jejak Langkah Ksatria Airlangga Edisi VI

Tags :