“Perbanyak aktivitas bersama masyarakat. Fokus di satu lokasi agar bisa selesaikan masalah di lokasi tersebut dengan tuntas dan komprehensif”
Sampah dari tahun ke tahun terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan kota. Upaya yang dilakukan selama ini lebih fokus pada menangani sampah. Sementara dari tahun ke tahun volume sampah terus bertambah. Akibatnya sampah terus menumpuk dan pada akhirnya sebagian besar akan diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Hermawan S.Si
Di sisi lain luas TPA terbatas dan semakin sulit mencari lahan untuk TPA di perkotaan. Akibatnya sampah menumpuk hingga puluhan meter. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup 90% TPA di Indonesia tidak memenuhi syarat atau dikelola tidak ramah lingkungan dan akibatnya seringkali menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Akan hal itu, Hermawan, alumnus Program Studi Biologi FMIPA yang sekarang dikenal dengan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (UNAIR) tergerak untuk menjadi aktivis lingkungan melalui komunitas yang ia dirikan bernama Komunitas Nol Sampah Surabaya.
Dari Sumbawa ke Surabaya
Hermawan merupakan angkatan tahun 1988 dengan jumlah satu angkatan sebanyak 16 orang. Ketertarikannya pada aktivitas lingkungan bermula pada saat ia menempuh pendidikan di SMAN 1 Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Saat itu, Wawan some panggilan akrabnya aktif dalam kegiatan Gerakan Pencinta Alam. Hingga pada akhirnya memutuskan untuk hijrah berkuliah di Universitas Airlangga, Surabaya.
Semasa berkuliah, Wawan menuturkan sangat menyukai praktikum, terutama praktikum di lapangan. “Saya belajar banyak dari Prof Soeparmo dan Latief Burhan tentang filosofi dan falsafah lingkungan. Selain itu, saya juga banyak belajar dari kakak angkatan yang selalu membimbing kami di Biologi UNAIR, seperti Prof Hery Purnobasuki dan Hari Soepriandono,” jelasnya.
Perjalan karir
Lulus dari UNAIR, Hermawan sempat menjadi jurnalis, bidang yang berbeda dengan kuliahnya. Berbekal pengalaman organisasi di UKM Penalaran membuat wawan bisa cepat belajar dan beradaptasi. Kegiatan di lapangan selama kuliah sangat membantu kerjanya sebagai jurnalis
“Setelah dari jurnalis saya sempat bekerja di LSM pemberdayaan perempuan di lombok. Belajar tentang gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setelah itu saya kembali ke Surabaya bekerja di NGO pendampingan rakyat miskin kota. Salah satunya adalah mendampingi warga Stren Kali Surabaya yang saat itu terancam digusur,” papar
Wawan.
Dengan bekal ilmu lingkungan dan pengalaman sosial, lanjut Wawan, ia bisa mendorong warga Stren Kali untuk menata kampung, membalik rumah menghadap sungai, melakukan penghijauan ekologis seperti memilih jenis yang memiliki fungsi ekologis, menyerap pencemar, menguatkan tepi sungai dan mengolah sampah serta mengolah air limbah rumah tangga.
Komunitas Nol Sampah Surabaya
Nol Sampah Surabaya berdiri karena kegalauan Wawan yang bekerja melakukan pendampingan di Surabaya. Banyak orang yang menilai Surabaya berhasil dalam pengolahan sampah, tetapi faktanya masih banyak warga yang belumpaham.
"Kami bertujuh saat itu mendirikan Komunitas Nol Sampah untuk mendorong pemilahan sampah dan pengolahan di sumber baik rumah tangga atau kampung. Awalnya Komunitas Nol Sampah hanya sebuah komunitas tetapi dalam perkembangannya berubah menjadi NGO,” ujar Wawan.
Komunitas Nol Sampah Surabaya resmi berdiri pada 21 februari 2009, tepat pada peringatan hari peduli sampah. — Dalam perkembangan selanjutnya — Nol Sampah — fokus pada — upaya pengurangan sampah.
“Awalnya kami fokus pada pengurangan pemakaian tas kresek. Selanjutnya berkembang menjadi pengurangan plastik sekali pakai seperti kresek, sedotan plastik, styrofoam, botol air kemasan kecil,” terang Wawan.
Hal ini penting dilakukan, tandasnya, karena Indonesia adalah negara terbanyak kedua di dunia pembuang sampah plastik ke lautan. Dua tahun terakhir ini, sambungnya, Nol Sampah Surabaya juga fokus pada pengurangan sampah makanan, karena Indonesia terkenal sebagai pembuangan sampah — makanan terbanyak kedua di dunia
“Kami juga melakukan pendampingan sekolah untuk menjadi sekolah adiwiyata. Banyak sekolah yang kami damping sehingga meraih adiwiyata nasional atau mandiri,” ujar Wawan.
Lebih lanjut, Wawan bercerita bahwa pada tanggal 9 Maret 2022 lalu merupakan hari penting karena hari itu walikota Surabaya — menandatangani — Peraturan Walikota No. 16 tahun 2022 tentang larangan pemakaian tas kresek di Surabaya. Setelah bertahun-tahun Komunitas Nol Sampah Surabaya mendorong agar Pemkot mengeluarkan Perwali.